
Saat Tiongkok mulai mengekspor mobil listrik ke Eropa, Amerika, dan Afrika, Indonesia masih sibuk berdebat soal kendaraan dinas berbahan bakar listrik dan insentif yang setengah hati.
Lalu lintas di Beijing kini dipenuhi kendaraan hening bertenaga baterai, sementara Jakarta masih dihiasi kabut asap knalpot.
Data 2023 menunjukkan bahwa Tiongkok telah menyalip Jepang sebagai eksportir mobil terbesar di dunia.
Dari Tukang Rakit ke Raja Inovasi
Tak banyak yang menyangka bahwa negara yang dulu hanya merakit mobil-mobil asing kini menjadi pusat inovasi industri otomotif. Perusahaan seperti BYD, NIO, XPeng, hingga Geely tak hanya bermain di pasar domestik, tapi juga merambah ke Eropa, Amerika, Timur Tengah, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Bukan sekadar menjual kendaraan, mereka menawarkan teknologi canggih yang kompetitif: dari AI driving, baterai LFP (lithium iron phosphate), hingga fitur self-driving level 3 dan 4.
Inovasi Tiongkok: Gaspol Tanpa Rem
Beberapa terobosan otomotif Tiongkok yang patut diperhatikan:
Mobil Listrik Terjangkau
BYD dan Wuling menghadirkan mobil listrik berkualitas tinggi dengan harga yang menjangkau masyarakat menengah. Baterai produksi CATL (Contemporary Amperex Technology Co. Ltd) bahkan dipakai oleh Tesla dan BMW.
Kendaraan Otonom dan Smart Driving
Tiongkok mengembangkan kendaraan dengan kemampuan navigasi canggih berbasis AI. NIO, misalnya, telah melakukan uji coba mobil tanpa pengemudi di berbagai kota besar.
Ekosistem EV Lengkap
Ribuan charging station tersebar di kota-kota besar. Bahkan, beberapa jalan tol sedang diuji coba dengan sistem pengisian baterai nirkabel saat mobil melaju.
Inovasi Mobil Masa Depan
Tiongkok juga mengembangkan mobil terbang, seperti XPeng AeroHT, yang diresmikan untuk uji komersial pada 2024. Teknologi ini bukan lagi mimpi fiksi ilmiah.
Indonesia: Potensi Besar, Tapi Masih Terlelap
Sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar, yang merupakan komponen utama baterai EV, Indonesia seharusnya menjadi pemain utama dalam industri ini. Namun realitanya, produksi otomotif nasional masih berkutat pada kendaraan konvensional.
Dukungan terhadap pengembangan riset, start-up teknologi, dan manufaktur lokal masih minim. Regulasi pun belum sepenuhnya mendukung.
Insentif kendaraan listrik berubah-ubah, infrastruktur charging station belum merata, dan ekosistem industri belum matang. Akibatnya, Indonesia terancam hanya jadi pasar konsumtif, bukan produsen kompetitif.
Harapannya kita tak hanya jadi penonton. Ketika Tiongkok sudah berpikir soal mobil terbang dan AI driving, Indonesia tak boleh hanya puas dengan perakitan atau subsidi sesaat.
Kini saatnya Indonesia bangkit, belajar dari strategi Tiongkok, dan menantang diri sendiri untuk jadi pemimpin, bukan pengekor.
Karena masa depan otomotif dan masa depan bangsa tidak akan menunggu mereka yang lambat mengambil keputusan.